Berikut adalah hadits-hadits yang membicarakan tentang mandi junub, mengenai sebab, tata cara, dan hal terkait dengan mandi junub.
KITAB BULUGHUL MARAM
كِتَابُ اَلطَّهَارَةِ
بَابُ اَلْغُسْلِ وَحُكْمِ اَلْجُنُبِ
KITAB BERSUCI
BAB MANDI DAN HUKUM SEPUTAR MANDI JUNUB
MANDI KARENA KELUAR MANI
HADITS KE-108
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ اَلْخُدْرِيِّ – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليهوسلم – – اَلْمَاءُ مِنْ اَلْمَاءِ – رَوَاهُ مُسْلِم
وَأَصْلُهُ فِي اَلْبُخَارِيّ
Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Air itu dari air (mandi junub itu disebabkan karena keluar mani).” (Diriwayatkan oleh Muslim, dan asalnya hadits ini dari Al-Bukhari). [HR. Bukhari, no. 180 dan Muslim, no. 343, 345]
Faedah hadits
- Air itu dari air, maksudnya adalah air untuk mandi junub disebabkan karena keluar mani (air yang keluar dengan memancar dan syahwat). Mani disebut juga dalam ayat dengan al-maa’ (air).
- Lafaz yang diucapkan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu singkat, tetapi sarat makna.
- Hadits ini menunjukkan wajibnya mandi karena keluar mani.
- Apakah jika tidak keluar mani dianggap tidak ada mandi junub? Jawabannya, mandi junub memiliki sebab lainnya. Mandi junub bisa ada karena hubungan intim. Hubungan intim tanpa keluar mani jika sudah bertemu dua kemaluan tetap diwajibkan mandi junub.
- Ternyata pada masa awal Islam, siapa saja yang menyetubuhi istrinya lantas tidak keluar mani, ia cukup istinjak dan berwudhu. Kemudian setelah itu datang hukum baru, yang berhubungan intim diperintahkan untuk tetap mandi dengan sekadar hubungan intim walau tidak keluar mani.
- Sebagian ulama menjadikan dali ini sebagai hukum terkait orang yang ihtilam (mimpi basah) seperti Imam An-Nasai menerapkan hal ini dalam kitab sunannya.
Baca Juga: Manhajus Salikin: Tata Cara Mandi Junub yang Ringkas, Sempurna, dan Mandi Setelah Haidh
MANDI KARENA HUBUNGAN INTIM WALAU TIDAK KELUAR MANI
HADITS KE-109
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – – إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا اَلْأَرْبَعِ, ثُمَّ جَهَدَهَا, فَقَدْ وَجَبَ اَلْغُسْلُ – مُتَّفَقٌ عَلَيْه
زَادَ مُسْلِمٌ: “وَإِنْ لَمْ يُنْزِلْ “
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika seseorang telah benar-benar melakukan hubungan intim dengan istrinya lantas bertemu dua kemaluan, ia diwajibkan untuk mandi.” (Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari, no. 291 dan Muslim, no. 348]
Dalam riwayat Muslim terdapat tambahan, “Walaupun tidak keluar mani.” [HR. Muslim, no. 348]
Faedah hadits
- Hubungan intim diwajibkan mandi junub. Hal ini berlaku untuk laki-laki dan perempuan.
- Walaupun tidak keluar mani, hubungan intim tetap diwajibkan mandi junub.
WANITA JUGA DIPERINTAHKAN MANDI JUNUB JIKA KELUAR MANI
HADITS KE-110
وَعَنْ أُمِّ سَلَمَةَ; أَنَّ أُمَّ سُلَيْمٍ -وَهِيَ اِمْرَأَةُ أَبِي طَلْحَةَ- قَالَتْ: – يَا رَسُولَ اَللَّهِ! إِنَّ اَللَّهَلَا يَسْتَحِي مِنْ اَلْحَقِّ, فَهَلْ عَلَى اَلْمَرْأَةِ اَلْغُسْلُ إِذَا اِحْتَلَمَتْ? قَالَ: “نَعَمْ. إِذَا رَأَتِالْمَاءَ” – اَلْحَدِيثَ. مُتَّفَقٌ عَلَيْه
Dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, bahwasanya Ummu Sulaim–ia adalah istrinya Abu Thalhah–berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah tidaklah malu menyebutkan kebenaran. Apakah wanita tetap mandi junub jika mimpi basah?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Iya, tetap mandi junub jika ia melihat air.” (Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari, no. 282 dan Muslim, no. 313]
HADITS KE-111
وَعَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ – رضي الله عنه – قَالَ: – قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليهوسلم – -فِي اَلْمَرْأَةِ تَرَى فِي مَنَامِهَا مَا يَرَى اَلرَّجُلُ- قَالَ: “تَغْتَسِلُ” – مُتَّفَقٌ عَلَيْه
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang seorang wanita yang bermimpi sebagaimana mimpinya seorang laki-laki, “Hendaklah, ia mandi.” (Muttafaqun ‘alaih) [HR. Muslim, no. 311. Pernyataan Ibnu Hajar bahwa hadits ini riwayat Bukhari tidaklah tepat karena hadits ini hanya dikeluarkan oleh Muslim saja].
زَادَ مُسْلِمٌ: فَقَالَتْ أُمُّ سُلَيْم – وَهَلْ يَكُونُ هَذَا? قَالَ: “نَعَمْ فَمِنْ أَيْنَ يَكُونُاَلشَّبَهُ? –
Dalam riwayat Muslim terdapat tambahan, Ummu Sulaim berkata, “Apakah hal ini terjadi?” Beliau menjawab, “Iya, lalu dari mana datangnya persamaan?”
Faedah hadits
- Ummu Sulaim adalah Sahlah binti Milhaan Al-Anshariyyah, ia adalah ibunda dari Anas bin Malik. Ia adalah sahabat wanita dan memiliki periwayatan hadits. Suaminya dahulu adalah Malik bin An-Nadhr di masa Jahiliyyah. Dari hubungan dengan suaminya tersebut, lahirlah sahabat Anas. Ketika datang Islam, Ummu Sulaim bersama kaum Anshar masuk Islam. Suaminya kemudian marah besar. Kemudian suaminya pergi ke Syam hingga meninggal dunia. Setelah itu, Ummu Sulaim dikhitbah oleh Abu Thalhah Zaid bin Sahl Al-Anshari Al-Khazraji. Ummu Sulaim hanya menginginkan keislaman Abu Thalhah sebagai maharnya. Akhirnya, Abu Thalhah pun masuk Islam. Yang menikahkan Ummu Sulaim adalah putranya Anas bin Malik. Ummu Sulaim terkenal sebagai wanita yang cerdas, paling kokoh hatinya, paling bagus adabnya, dan sangat religius. Kisah yang begitu masyhur dari Ummu Sulaim dan Abu Thalhah adalah ketika putranya meninggal dunia, malah malam harinya mereka melakukan hubungan intim. Setelah itu barulah Ummu Sulaim menceritakan anaknya yang telah meninggal dunia. Riwayat kisah ini terdapat dalam shahihain.
- Hadits ini menunjukkan semangatnya Ummu Sulaim untuk belajar agama dan bagusnya adab Ummu Sulaim dengan sebelumnya menyampaikan uzur.
- Seseorang sudah sepatutnya bertanya pada hal yang ia butuhkan termasuk pula dalam perkara yang ia merasa malu untuk diungkapkan.
- Rasa malu seseorang jangan sampai menghalangi untuk mengetahui kebenaran dan jangan sampai mencegah dari bertanya.
- Penempatan malu yang tidak tepat adalah ketika: (a) menghalangi dari bertanya pada sesuatu yang mesti ditanya, (b) meninggalkan mengajak pada yang makruf dan melarang dari yang mungkar, (c) luput dari berbagai hak.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,
نِعْمَ النِّسَاءُ نِسَاءُ الأَنْصَارِ لَمْ يَكُنْ يَمْنَعُهُنَّ الْحَيَاءُ أَنْ يَتَفَقَّهْنَ فِى الدِّينِ.
“Sebaik-baik wanita adalah wanita Anshar. Rasa malu tidak menghalangi mereka mempelajari agama.” (HR. Muslim, no. 332 dan diriwayatkan pula oleh Bukhari secara mu’allaq yaitu tanpa sanad).
- Hadits ini jadi dalil kebenaran itu dari Allah.
- Wanita juga diperintahkan mandi junub ketika mimpi basah, tetapi dipastikan harus keluar mani.
- Orang yang mimpi basah ada tiga keadaan: (a) ada yang bermimpi erotis dan melihat adanya mani, maka diwajibkan mandi junub; (b) bermimpi erotis, tetapi tidak keluar mani, tidak ada kewajiban mandi junub; (c) melihat adanya mani, tetapi tidak bermimpi erotis, maka diwajibkan mandi junub karena bisa saja ia memimpikan sesuatu dalam tidurnya lalu lupa.
- Jika bangun tidur, seseorang mendapati ada yang basah di pakaiannya dan tidak mengetahui mani ataukah bukan, saat tidur bermimpi erotis, cairan tersebut dihukumi mani. Jika tidak diketahui sama sekali mani ataukah bukan saat mendapati sesuatu yang basah ketika bangun tidur, padahal saat tidur tidak bermimpi erotis, dihukumi tetap mandi untuk kehati-hatian.
- Adapun orang yang dalam keadaan sadar, keluar mani berarti diwajibkan mandi junub secara mutlak, meskipun keluarnya tidak dengan syahwat dan keluar dengan sebab apa pun. Inilah pendapat dalam madzhab Syafii, salah pendapat dari Imam Ahmad. Ulama Hanafiyah, Malikiyah, dan Hambali berpendapat tetap disyaratkan memancar dan terasa nikmat.
- Hadits ini jadi dalil bahwa wanita juga mengalami mimpi basah dan keluar mani sebagaimana pria.
- Anak laki-laki atau anak perempuan akan menyerupai ayah atau ibunya dilihat dari mani yang keluar dari keduanya. Jika ada mani yang keluar lebih dulu saat hubungan keduanya, anak akan mirip dengannya.
MANDI KARENA MEMANDIKAN JENAZAH
HADITS KE-112
وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: – كَانَ اَلنَّبِيَّ – صلى الله عليه وسلم – يَغْتَسِلُ مِنْ أَرْبَعٍ: مِنْ اَلْجَنَابَةِ, وَيَوْمَ اَلْجُمُعَةِ, وَمِنْ اَلْحِجَامَةِ, وَمِنْ غُسْلِ اَلْمَيِّتِ – رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ خُزَيْمَة َ
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mandi karena empat hal: karena junub, hari Jumat, berbekam, dan memandikan jenazah.” (Diriwayatkan oleh Abu Daud, disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah) [HR. Abu Daud, no. 348, 3160; Ibnu Khuzaimah, no. 256; Al-Hakim, 1:268. Hadits ini dhaif sebagaimana dikatakan oleh Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan dalam Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 2:19-21].
Faedah hadits
- Mandi karena junub adalah wajib. Ini merupakan ijmak para ulama.
- Mandi pada hari Jumat adalah sunnah menurut jumhur ulama.
- Mandi karena berbekam adalah sunnah menurut sebagian ulama. Sedangkan, jumhur ulama tidak menganjurkan mandi setelah berbekam karena tidak ada dalilnya.
- Mandi karena memandikan jenazah dihukumi sunnah, bukan wajib sebagaimana pendapat jumhur ulama. Masalah ini sudah dibahas dalam hadits ke-76 pada bahasan pembatal wudhu dari Bulughul Maram.
Baca Juga: Manhajus Salikin: Pembatal Wudhu, Menyentuh Kemaluan, Memandikan Jenazah
MANDI KARENA MASUK ISLAM
HADITS KE-113
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رضي الله عنه – – -فِي قِصَّةِ ثُمَامَةَ بْنِ أُثَالٍ, عِنْدَمَا أَسْلَم- وَأَمَرَهُ اَلنَّبِيُّ – صلى الله عليه وسلم – أَنْ يَغْتَسِلَ – رَوَاهُ عَبْدُ اَلرَّزَّاق ِ
وَأَصْلُهُ مُتَّفَقٌ عَلَيْه ِ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu tentang kisah Tsumamah bin Utsal saat masuk Islam, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan dia untuk mandi. (Diriwayatkan oleh ‘Abdur Razzaq, aslinya muttafaqun ‘alaih) [HR. ‘Abdur Razzaq, 6:9; Ibnu Khuzaimah, 1:125; Ibnu Hibban, 4:41; Ibnul Jarud, 15; Al-Baihaqi, 1:171. Asal hadits ini ada dalam Bukhari, no. 4372 dan Muslim, no. 1764, tetapi tidak ada perintah untuk mandi. Perintah untuk mandi hanya dalam riwayat ‘Abdur Razzaq. Pendukung hadits ini adalah hadits dari Qais bin ‘Ashim radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ia pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk masuk Islam, beliau memerintahkanku untuk mandi dengan air dan daun sidr. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud, no. 355; Tirmidzi, no. 605; An-Nasai, 1:109; Ahmad, 34:216; hadits ini sahih sebagaimana disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah, 255; Ibnu Hibban, 1240. Ibnul Mundzir dalam Al-Awsath, 2:114, hadits ini sahih; juga disahihkan oleh Imam Nawawi dalam Al-Khulashah, 455].
Faedah hadits
Mengenai hukum mandi untuk orang kafir yang masuk Islam, para ulama berbeda pendapat.
Pendapat pertama, hukumnya wajib sebagaimana dianut oleh madzhab Malikiyah, pendapat masyhur dalam madzhab Hambali, dipilih oleh Ibnul Mundzir, Al-Khattabi, dikuatkan oleh Asy-Syaukani. Alasannya karena orang kafir belum bersih dari junub.
Pendapat kedua, orang kafir yang masuk Islam itu disunnahkan saja untuk mandi. Inilah yang menjadi pendapat jumhur dari madzhab Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafiiyah.
Pendapat ketiga, mandi untuk orang yang masuk Islam tidaklah wajib sama sekali. Pendapat ini adalah satu pendapat dalam madzhab Hambali.
Alasan dua pendapat terakhir yang menyatakan tidak wajib adalah:
- Banyak sahabat yang masuk Islam, tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan untuk mandi. Seandainya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan mereka, pasti akan sampai banyak riwayat penukilan.
- Seandainya mandi karena masuk Islam itu wajib, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak hanya memerintahkan pada sebagian saja, tidak pada yang lainnya.
- Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mengutus Mu’adz ke Yaman, beliau hanya menyampaikan untuk mengajak bersyahadat dan melakukan kewajiban lainnya. Seandainya mandi karena masuk Islam itu wajib, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan mengikutkan untuk disampaikan karena hal tersebut adalah keharusan pertama ketika masuk Islam.
Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan menyampaikan setelah menyebutkan berbagai pendapat dan argumen di atas, “Pendapat yang paling kuat, wallahu a’lam, mandi ketika masuk Islam tidaklah wajib, hanya dianjurkan saja karena kompromi berbagai dalil. Yang lebih hati-hati, yang baru masuk Islam diperintahkan untuk mandi. Mandi seperti ini tidaklah berat, bahkan manfaatnya amat banyak.” (Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 2:26)
HUKUM MANDI JUMAT
HADITS KE-114
وَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ – رضي الله عنه – أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ: – غُسْلُ اَلْجُمُعَةِ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ – أَخْرَجَهُ اَلسَّبْعَة
Dari Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Mandi Jumat itu wajib bagi setiap yang telah mimpi basah (telah baligh).” (Dikeluarkan oleh yang tujuh) [HR. Bukhari, no. 879; Muslim, no. 846; Abu Daud, no. 341; An-Nasai, 3:92; Ibnu Majah, no. 1089; Ahmad, 18:125].
HADITS KE-115
وَعَنْ سَمُرَةَ – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – – مَنْ تَوَضَّأَ يَوْمَ اَلْجُمُعَةِ فَبِهَا وَنِعْمَتْ, وَمَنْ اِغْتَسَلَ فَالْغُسْلُ أَفْضَلُ – رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ, وَحَسَّنَهُ اَلتِّرْمِذِيّ ُ
Dari Samurah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa saja yang berwudhu pada hari Jumat, (Ia bisa mengambil rukhsah atau keringanan) dan sebaik-baik keringanan adalah berwudhu. Siapa yang memilih untuk mandi, maka mandi itu lebih afdal.” (Diriwayatkan oleh yang lima dan dihasankan oleh Tirmidzi). [HR. Abu Daud, no. 354; Tirmidzi, no. 497; An-Nasai, 3:94; Ahmad, 33:308. Sedangkan hadits dari Ibnu Majah adalah dari riwayat Anas, bukan dari Samurah].
Faedah hadits
- Mandi Jumat dilakukan karena adanya shalat Jumat, bukan karena adanya hari Jumat.
- Muhtalim dalam hadits yang dimaksud adalah orang yang baligh (dewasa). Mandi Jumat ditujukan pada yang sudah mencapai usia baligh.
- Dua hadits ini menjadi dalil tentang hukum mandi Jumat. Sebagian ulama berpendapat bahwa mandi Jumat itu wajib berdasarkan hadits Abu Sa’id. Jumhur ulama berpendapat bahwa mandi Jumat dihukumi sunnah berdasarkan hadits Samurah. Ada juga pendapat ketiga yang disebutkan oleh Imam Ibnul Qayyim bahwa mandi Jumat itu wajib bagi orang yang memiliki bau yang tidak enak sehingga harus dihilangkan. Sedangkan yang tidak dalam keadaan seperti itu, mandi Jumat untuknya disunnahkan. Pendapat ketiga dianut oleh sebagian ulama Hambali dan menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
- Yang lebih hati-hati adalah jangan sampai meninggalkan mandi Jumat karena banyak hadits yang menjelaskan keutamaannya. Tujuan mandi Jumat adalah untuk menghilangkan bau tidak enak sehingga tidak menyakiti jamaah Jumat, hingga menyakiti para malaikat yang mulia.
- Pendapat yang menyatakan bahwa mandi Jumat itu wajib, bukan berarti mandi Jumat merupakan syarat sah shalat Jumat. Al-Khattabi mengatakan, para ulama tidak berselisih pendapat bahwa yang tidak mandi Jumat tetap sah shalat Jumatnya. Lihat Ma’alim As-Sunan, 1:212, dinukil dari Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 2:34.
- Jumhur ulama berpendapat bahwa mandi Jumat itu dilakukan karena shalat, bukan karena bertepatan dengan hari Jumat.
- Lebih baik mandi Jumat berdekatan dengan waktu berangkat shalat.
Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Jika seseorang mandi Jumat sebelum terbit fajar (sebelum masuk waktu Shubuh), mandi Jumatnya tidak sah menurut pendapat terkuat dari ulama Syafiiyah. Pendapat seperti ini pula dikatakan oleh mayoritas ulama. Namun, Al-Auza’i menganggapnya sah.”
Imam Nawawi rahimahullah melanjutkan, “Jika seseorang mandi setelah terbit fajar (sudah masuk Shubuh), maka mandi Jumatnya sah menurut ulama Syafiiyah dan mayoritas ulama. Demikian dinyatakan oleh Ibnul Mundzir, Al-Hasan Al-Bashri, Mujahid, An-Nakha’i, Ats-Tsauri, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur. Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa mandi Jumat tidak sah kecuali dilakukan ketika hendak berangkat shalat Jumat. Namun, para ulama tadi menyatakan bahwa mandi Jumat sebelum terbit fajar tidaklah sah, dan yang menyatakan sah hanyalah Al-Auza’i. Al-Auza’i menyatakan bahwa boleh mandi sebelum fajar bagi yang ingin mandi junub dan mandi Jumat.” (Al-Majmu’, 4:536)
MEMBACA AL-QUR’AN UNTUK ORANG JUNUB
HADITS KE-116
وَعَنْ عَلِيٍّ – رضي الله عنه – قَالَ: – كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يُقْرِئُنَا اَلْقُرْآنَ مَا لَمْ يَكُنْ جُنُبًا – رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ, وَهَذَا لَفْظُ اَلتِّرْمِذِيِّ وَحَسَّنَهُ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّان َ
Dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambiasa membacakan kepada kami Al-Qur’an selama beliau tidak junub.” (Diriwayatkan oleh yang lima. Lafazh hadits ini adalah lafazh Tirmidzi dan ia menghasankannya. Ibnu Hibban mensahihkan hadits ini). [HR. Abu Daud, no. 229; Tirmidzi, no. 146; An-Nasai, 1:144; Ibnu Majah, no. 594; Ahmad, 2:61; Ibnu Hibban, 799,800. Hadits ini disahihkan oleh Tirmidzi, begitu pula Ibnus Sakan, ‘Abdul Haqq, dan Al-Baghawi. Lihat Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 2:37].
Faedah hadits
- Orang junub hendaklah tidak membaca sedikit pun dari Al-Qur’an hingga ia mandi junub. Inilah pendapat jumhur ulama.
- Orang junub bisa segera menghilangkan hadats.
- Wanita haidh boleh membaca Al-Qur’an. Itu hukum asalnya, sampai ada dalil yang menyatakan wanita haidh haram untuk membaca Al-Qur’an. Yang tepat, dalil tegas mengenai larangan wanita haidh membaca Al-Qur’an tidak ada. Adapun pengqiyasan (penyamaan) terhadap orang junub tidaklah tepat karena antara wanita haidh dan orang junub ada perbedaan. Sebagian ulama menyatakan boleh bagi wanita haidh membaca Al-Qur’an jika ada kebutuhan seperti karena sudah punya rutinitas (al-awrad) atau ia adalah pengajar Al-Qur’an. Namun, yang paling tepat adalah wanita haidh masih boleh membaca Al-Qur’an secara mutlak.
Solusi wanita haidh membaca Al-Qur’an
Wanita haidh masih boleh membaca Al-Qur’an asalkan tidak menyentuh mushaf Al-Qur’an secara langsung.
Dua solusi yang bisa ditawarkan:
a- Membaca mushaf saat haidh dengan tidak menyentuh secara langsung
Syaikh Ibnu Baz rahimahullah yang pernah menjabat sebagai Mufti Kerajaan Saudi Arabia berkata, “Wanita haidh dan nifas diperbolehkan untuk membaca Al-Qur’an menurut pendapat ulama yang paling kuat. Alasannya adalah karena tidak ada dalil yang melarang membaca Al-Qur’an untuk wanita haid. Namun, membaca Al-Qur’an tersebut harusnya tidak sampai menyentuh mushaf Al-Qur’an. Kalau memang mau menyentuh mushaf Al-Qur’an, bisa dengan menggunakan kain penghalang seperti kain yang suci dan semacamnya (bisa juga dengan sarung tangan, pen.). Demikian pula penulisan Al-Qur’an di kertas ketika ada hajat (dibutuhkan) diperbolehkan asalkan dengan menggunakan penghalang seperti kain.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 10:209-210)
b- Membaca Al-Qur’an terjemahan
Imam Nawawi rahimahullah dalam Al-Majmu’ mengatakan, “Jika kitab tafsir lebih banyak kajian tafsirnya daripada ayat Al-Qur’an sebagaimana umumnya kitab tafsir, ada beberapa pendapat ulama bolehkah disentuh saat berhadats. Akan tetapi, yang lebih tepat, kitab tafsir semacam itu tidak mengapa disentuh karena tidak disebut mushaf.”
Jika yang disentuh adalah Al-Qur’an terjemahan dalam bahasa non-Arab, tentu tidak disebut mushaf yang disyaratkan dalam hadits mesti dalam keadaan suci ketika menyentuhnya. Namun, kitab atau buku seperti itu disebut tafsir sebagaimana ditegaskan oleh ulama Malikiyah. Oleh karena itu, Al-Qur’an terjemahan boleh disentuh karena hukumnya sama dengan menyentuh kitab tafsir. Akan tetapi, jika isi Al-Qur’annya (tulisan Arab) lebih banyak atau sama banyaknya dari kajian terjemahan, sudah sepatutnya tidak disentuh dalam keadaan berhadats.
DISYARIATKAN BERWUDHU BAGI YANG INGIN MENGULANGI HUBUNGAN INTIM
HADITS KE-117
وَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ اَلْخُدْرِيِّ – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – – إِذَا أَتَى أَحَدُكُمْ أَهْلَهُ, ثُمَّ أَرَادَ أَنْ يَعُودَ فَلْيَتَوَضَّأْ بَيْنَهُمَا وُضُوءًا – رَوَاهُ مُسْلِم ٌ
زَادَ اَلْحَاكِمُ: – فَإِنَّهُ أَنْشَطُ لِلْعَوْدِ –
Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian mendatangi keluarganya (menyetubuhi istrinya), kemudian ia ingin mengulangi hubungan intim, hendaklah ia berwudhu (membersihkan kemaluan dahulu lalu berwudhu, pen.) ketika ingin berhubungan intim lagi.” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim) [HR. Muslim, no. 308. Lihat penjelasan Minhah Al-Allam, 2:42].
Al-Hakim menambahkan, “Wudhu itu akan lebih menambah semangat ketika ingin mengulangi hubungan intim lagi.” [HR. Al-Hakim, 1:254. Hadits ini adalah hadits sahih sesuai syarat Bukhari dan Muslim. Lihat Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 2:41].
Faedah hadits
- Hadits ini jadi dalil tentang disyariatkannya wudhu bagi yang ingin mengulangi hubungan intim dengan istrinya.
- Jumhur ulama menganggap bahwa hukum berwudhu di sini adalah sunnah, tidak sampai wajib.
- Sebab diperintahkan berwudhu adalah agar kembali semangat.
HUKUM ORANG JUNUB TIDUR SEBELUM MANDI
HADITS KE-118
وَلِلْأَرْبَعَةِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: – كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليهوسلم – يَنَامُ وَهُوَ جُنُبٌ, مِنْ غَيْرِ أَنْ يَمَسَّ مَاءً – وَهُوَ مَعْلُولٌ
Dikeluarkan oleh yang empat dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah tidur dalam keadaan junub tanpa mandi terlebih dahulu.” (Hadits ini ma’lul, punya cacat) [HR. Abu Daud, no. 228; Tirmidzi, no. 118, 119; An-Nasai dalam Al-Kubra, 8:212; Ibnu Majah, no. 583. Hadits ini punya cacat sebagaimana kata Imam Ibnu Hajar].
Faedah hadits
Boleh saja tidur dalam keadaan junub tanpa berwudhu.
Catatan:
Jika memang wajib mandi junub dan hubungan intim terjadi di malam hari, boleh saja tidur dan mandinya ditunda hingga mendekati waktu Shubuh. Namun, disunnahkan berwudhu sebelum tidur, bahkan sangat disunnahkan.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أَيَرْقُدُ أَحَدُنَا وَهْوَ جُنُبٌ قَالَ نَعَمْ إِذَا تَوَضَّأَ أَحَدُكُمْ فَلْيَرْقُدْ وَهُوَ جُنُبٌ
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa ‘Umar bin Al-Khattab pernah bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apakah salah seorang di antara kami boleh tidur sedangkan ia dalam keadaan junub?” Beliau menjawab, “Iya, jika salah seorang di antara kalian junub, hendaklah ia berwudhu lalu tidur.” (HR. Bukhari, no. 287 dan Muslim, no. 306).
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,
كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا أَرَادَ أَنْ يَنَامَ وَهْوَ جُنُبٌ ، غَسَلَ فَرْجَهُ ، وَتَوَضَّأَ لِلصَّلاَةِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa jika dalam keadaan junub dan hendak tidur, beliau mencuci kemaluannya, lalu berwudhu sebagaimana wudhu untuk shalat.” (HR. Bukhari, no. 288).
‘Aisyah pernah ditanya oleh ‘Abdullah bin Abu Qais mengenai keadaan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam,
كَيْفَ كَانَ يَصْنَعُ فِى الْجَنَابَةِ أَكَانَ يَغْتَسِلُ قَبْلَ أَنْ يَنَامَ أَمْ يَنَامُ قَبْلَ أَنْ يَغْتَسِلَ قَالَتْ كُلُّ ذَلِكَ قَدْ كَانَ يَفْعَلُ رُبَّمَا اغْتَسَلَ فَنَامَ وَرُبَّمَا تَوَضَّأَ فَنَامَ. قُلْتُ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِى جَعَلَ فِى الأَمْرِ سَعَةً.
“Bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika dalam keadaan junub? Apakah beliau mandi sebelum tidur ataukah tidur sebelum mandi?” ‘Aisyah menjawab, “Semua itu pernah dilakukan oleh beliau. Kadang beliau mandi, lalu tidur. Kadang pula beliau wudhu, barulah tidur.” ‘Abdullah bin Abu Qais berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan segala urusan begitu lapang.” (HR. Muslim, no. 307).
Kesimpulan:
- Junub lalu mandi sebelum tidur, ini lebih sempurna.
- Junub dan wudhu terlebih dahulu sebelum tidur, ini yang disunnahkan untuk memperingan junub.
- Junub dan tanpa wudhu, lalu tidur. Seperti ini masih dibolehkan.
TATA CARA MANDI JUNUB
HADITS KE-119
وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: – كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا اِغْتَسَلَ مِنْ اَلْجَنَابَةِ يَبْدَأُ فَيَغْسِلُ يَدَيْهِ, ثُمَّ يُفْرِغُ بِيَمِينِهِ عَلَى شِمَالِهِ, فَيَغْسِلُ فَرْجَهُ, ثُمَّ يَتَوَضَّأُ, ثُمَّ يَأْخُذُ اَلْمَاءَ, فَيُدْخِلُ أَصَابِعَهُ فِي أُصُولِ اَلشَّعْرِ, ثُمَّ حَفَنَ عَلَى رَأْسِهِ ثَلَاثَ حَفَنَاتٍ, ثُمَّ أَفَاضَ عَلَى سَائِرِ جَسَدِهِ, ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ, وَاللَّفْظُ لِمُسْلِم ٍ
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mandi junub (mandi karena keluar mani atau hubungan intim, pen.), beliau memulai dengan mencuci kedua telapak tangannya, kemudian menuangkan air pada kedua telapak tangan. Lalu beliau mencuci kemaluannya. Selanjutnya, beliau berwudhu. Lantas beliau mengambil air, lalu menyela-nyelai pangkal rambut dengan jari-jarinya. Kemudian beliau menyiramkan air di kepala dengan mencedok tiga kali (dengan kedua telapak tangan penuh, pen.). Lalu beliau menuangkan air pada anggota badan yang lain. Kemudian, beliau mencuci kedua telapak kakinya. (Muttafaqun ‘alaih. Lafazhnya dari Muslim) [HR. Bukhari, no. 248 dan Muslim, no. 316]
HADITS KE-120
وَلَهُمَا فِي حَدِيثِ مَيْمُونَةَ: – ثُمَّ أَفْرَغَ عَلَى فَرْجِهِ, فَغَسَلَهُ بِشِمَالِهِ, ثُمَّ ضَرَبَ بِهَا اَلْأَرْضَ-
وَفِي رِوَايَةٍ: – فَمَسَحَهَا بِالتُّرَابِ –
وَفِي آخِرِهِ: – ثُمَّ أَتَيْتُهُ بِالْمِنْدِيلِ – فَرَدَّهُ, وَفِيهِ: – وَجَعَلَ يَنْفُضُ الْمَاءَ بِيَدِهِ –
Juga dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim dari hadits Maimunah, “Kemudian beliau mencuci (menuangkan sambil air mengalir, pen.) kemaluannya dengan tangan kirinya, lalu beliau menggosok tangannya ke tanah.”
Dalam riwayat lain disebutkan, “Beliau mengusap (menggosok) telapak tangannya di tanah (untuk menghilangkan sesuatu yang masih menempel saat mencuci kemaluan, pen.).”
Dalam riwayat lain disebutkan pula, “Kemudian aku (Maimunah) menawarkan beliau kain (handuk), tetapi beliau tidak mengambilnya.” Dalam riwayat disebutkan, “Beliau menghilangkan air yang menempel pada badan dengan tangannya.” [HR. Bukhari, no. 249 dan Muslim, no. 317]
Faedah hadits
- Hadits ini menerangkan tata cara mandi junub sesuai petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- Tata cara mandi junub adalah: (a) mencuci kedua telapak tangan tiga kali, (b) mencuci dan membersihkan kemaluan dengan tangan kiri, (c) menggosokkan tangan kiri pada tanah untuk menghilangkan sesuatu yang menempel saat mencuci kemaluan (bisa diganti dengan memakai sabun), (d) berwudhu sempurna, (e) menyela-nyelai rambut kepala dengan air jika rambut lebat, atau menuangkan air sebanyak tiga kali jika yakin air bisa masuk ke pangkal rambut, (f) setelah itu menyiram anggota badan lainnya, (g) mencuci telapak kaki.
- Hadits tentang tata cara mandi junub diterangkan dalam hadits ‘Aisyah dan Maimunah. Kedua cara tersebut ada perbedaan. Hal ini menandakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan mandi tersebut dengan tata cara yang berbeda. Ini sebagai bentuk kelapangan bagi umat Islam. Cara mana saja yang diikuti berarti kita telah melakukan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan tata cara yang ada bisa dilakukan secara bergantian.
Tata cara mandi junub dalam hadits Maimunah secara lengkap adalah:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَتْ مَيْمُونَةُ وَضَعْتُ لِرَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – مَاءً يَغْتَسِلُ بِهِ ، فَأَفْرَغَ عَلَى يَدَيْهِ ، فَغَسَلَهُمَا مَرَّتَيْنِ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلاَثًا ، ثُمَّ أَفْرَغَ بِيَمِينِهِ عَلَى شِمَالِهِ ، فَغَسَلَ مَذَاكِيرَهُ ، ثُمَّ دَلَكَ يَدَهُ بِالأَرْضِ ، ثُمَّ مَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ ، ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ وَيَدَيْهِ ثُمَّ غَسَلَ رَأْسَهُ ثَلاَثًا ، ثُمَّ أَفْرَغَ عَلَى جَسَدِهِ ، ثُمَّ تَنَحَّى مِنْ مَقَامِهِ فَغَسَلَ قَدَمَيْهِ
Dari Ibnu ‘Abbas berkata bahwa Maimunah mengatakan, “Aku pernah menyediakan air mandi untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu beliau menuangkan air pada kedua tangannya dan mencuci keduanya dua kali-dua kali atau tiga kali. Lalu dengan tangan kanannya beliau menuangkan air pada telapak tangan kirinya, kemudian beliau mencuci kemaluannya. Setelah itu beliau menggosokkan tangannya ke tanah. Kemudian beliau berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung. Lalu beliau membasuh muka dan kedua tangannya. Kemudian beliau membasuh kepalanya tiga kali dan mengguyur seluruh badannya. Setelah itu, beliau bergeser dari posisi semula lalu mencuci kedua telapak kakinya (di tempat yang berbeda).” (HR. Bukhari, no. 265 dan Muslim, no. 317)
Dalam hadits Maimunah disebutkan bahwa wudhu yang dilakukan hanya sampai kepala, lalu menyiramkan air dari kepala ke seluruh badan. Setelah itu, kaki dicuci terakhir.
Sedangkan hadits Aisyah disebutkan bahwa wudhu dilakukan sempurna. Walau sama-sama terakhir mencuci kaki.
- Cara wudhu ketika mengawali mandi junub adalah melakukan wudhu sempurna hingga mencuci kedua kaki. Cara lainnya adalah berwudhu sebagaimana wudhu untuk shalat, tetapi mencuci kaki diakhirkan setelah mengguyur air ke seluruh badan. Cara kedua ini sebagaimana cara yang disebutkan dalam hadits Maimunah.
- Berkumur-kumur (madh-madha) dan menghirup air ke hidung (istintsar) dilakukan berbarengan dengan wudhu.
- Saat mandi, menyiram anggota badan lainnya dilakukan dengan sekali siraman. Siraman tersebut tidak disyaratkan tiga kali seperti dalam wudhu.
- Hadits ini tidak menunjukkan dilarangnya memakai handuk setelah mandi junub. Jumhur ulama berpendapat bahwa memakai handuk setelah mandi adalah mubah (boleh dilakukan, boleh ditinggalkan). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menghilangkan air pada badan dengan tangannya, tetapi beliau tidak melarang jika ada yang memakai handuk. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam enggan memakai handuk karena ada beberapa alasan. Di antaranya adalah handuknya mungkin tidak bersih, bisa jadi khawatir kain tersebut menjadi terlalu basah, atau karena beliau sedang tergesa-gesa. Bahkan, hadits ini sejatinya menjadi dalil bahwa boleh memakai handuk. Alasan dibolehkannya adalah seandainya itu dilarang tentu handuk tidak akan ditawarkan pada beliau. Ibnu Daqiq Al-‘Ied rahimahullah dalam Ihkam Al-Ahkam (1:386) berkata, “Perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menghilangkan air dengan telapak tangannya menunjukkan bahwa tidaklah makruh (tidaklah terlarang) memakai handuk setelah mandi. Karena memakai handuk dan menghilangkan air dengan telapak tangan sama-sama bertujuan untuk meniadakan air dari badan.” Lihat bahasan ini dalam Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 2:52-53.
HUKUM MELEPAS IKATAN RAMBUT UNTUK WANITA KETIKA MANDI
HADITS KE-121
وَعَنْ أُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: – قُلْتُ: يَا رَسُولَ اَللَّهِ إِنِّي اِمْرَأَةٌ أَشُدُّ شَعْرَ رَأْسِي, أَفَأَنْقُضُهُ لِغُسْلِ اَلْجَنَابَةِ? وَفِي رِوَايَةٍ: وَالْحَيْضَةِ? فَقَالَ: “لَا, إِنَّمَا يَكْفِيكِ أَنْ تَحْثِي عَلَى رَأْسِكِ ثَلَاثَ حَثَيَاتٍ” – رَوَاهُ مُسْلِم ٌ
Dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Aku berkata pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Wahai Rasulullah, aku adalah wanita yang biasa mengikat rambutku. Apakah aku harus melepas ikatan rambut tersebut saat mandi junub dan—menurut riwayat lain–mandi haidh?’”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak perlu (melepas ikatan rambut saat mandi). Cukup bagimu mengguyurkan air di atas kepalamu sebanyak tiga kali cedok (ukuran kedua telapak tangan penuh berisi air).” (Diriwayatkan oleh Muslim) [HR. Muslim, no. 330]
Faedah hadits
- Melepas ikatan rambut tidaklah wajib bagi wanita saat mandi junub maupun mandi haidh karena adanya masyaqqah (kesulitan), lebih-lebih lagi untuk mandi junub (karena bisa sering dilakukan). Cukup bagi wanita ketika mandi wajib untuk mengguyurkan air ke kepalanya. Inilah pendapat jumhur ulama.
- Khusus mandi setelah suci dari haidh, ada dua pendapat mengenai masalah melepas ikatan rambut. Pendapat pertama dari jumhur ulama (Hanafiyah, Malikiyah, Syafiiyah, dan salah satu pendapat dalam madzhab Hambali) bahwa melepas ikatan rambut saat mandi haidh tidaklah wajib. Pendapat kedua dari pendapat madzhab Imam Ahmad yang masyhur bahwa wajib bagi wanita melepas ikatan rambut saat mandi haidh. Wallahu a’lam, pendapat terkuat adalah tidak wajib melepas ikatan rambut untuk wanita yang mandi setelah suci dari haidh. Pendapat ini dikuatkan dengan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mendapatkan berita bahwa ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma memerintahkan para wanita untuk melepaskan ikatan rambut saat mereka mandi (wajib). Aisyah radhiyallahu ‘anha lantas berkata,
يَا عَجَبًا لاِبْنِ عَمْرٍو هَذَا يَأْمُرُ النِّسَاءَ إِذَا اغْتَسَلْنَ أَنْ يَنْقُضْنَ رُءُوسَهُنَّ أَفَلاَ يَأْمُرُهُنَّ أَنْ يَحْلِقْنَ رُءُوسَهُنَّ لَقَدْ كُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَرَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ وَلاَ أَزِيدُ عَلَى أَنْ أُفْرِغَ عَلَى رَأْسِى ثَلاَثَ إِفْرَاغَاتٍ
“Sungguh aneh Ibnu ‘Amr ini. Ia memerintahkan para wanita untuk melepas ikatan rambut mereka saat mandi?! Kenapa ia tidak sekalian menyuruh para wanita untuk mencukur rambut mereka? Aku sendiri pernah mandi bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lewat satu wadah. Aku tidaklah menambah lebih dari tiga kali siraman ketika menyiram kepalaku.” (HR. Muslim, no. 331)
APAKAH WANITA HAIDH BOLEH MASUK MASJID?
HADITS KE-122
وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – – إِنِّي لَا أُحِلُّ اَلْمَسْجِدَ لِحَائِضٍ وَلَا جُنُبٍ – رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ خُزَيْمَة َ
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku tidaklah membolehkan wanita haidh dan yang junub berada di masjid.” (Diriwayatkan oleh Abu Daud, disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah) [HR. Abu Daud, no. 232 dan Ibnu Khuzaimah, no. 1327. Para ulama berselisih pendapat mengenai kesahihan hadits ini dan bagaimana berdalil dengannya. Hadits ini disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah sebagaimana disebutkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar di sini. Al-Baihaqi menyatakan hadits ini dhaif].
Faedah hadits
Hadits ini yang dijadikan dalil bahwa wanita haidh dan junub tidak boleh berdiam di masjid. Inilah pendapat jumhur ulama dari ulama Hanafiyah, ulama Malikiyah, ulama Syafiiyah, dan menjadi pendapat ulama Hambali terkait masalah haidh.
Dalil jumhur ulama adalah firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَىٰ حَتَّىٰ تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّىٰ تَغْتَسِلُوا ۚ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekadar berlalu saja, hingga kamu mandi.” (QS. An-Nisaa’: 43). Ayat ini ada perselisihan pendapat di antara para ulama apakah yang dilarang itu shalatnya ataukah yang dilarang adalah berdiam di masjid dalam keadaan junub. Pendapat yang menyatakan dilarang berdiam di masjid bagi orang junub dipilih oleh kebanyakan tabi’in seperti Sa’id bin Al-Musayyib, Al-Hasan Al-Bashri, Ibrahim An-Nakha’i. Pendapat ini juga dianut oleh Imam Syafii.
Jumhur ulama mengqiyaskan wanita haidh dengan orang junub. Wanita haidh lebih-lebih dilarang mendekati masjid karena hadatsnya lebih berat. Wanita haidh bukan hanya dilarang shalat dan gugur shalatnya, tetapi juga dilarang puasa. Sedangkan orang junub masih diperintahkan puasa dan diperintahkan shalat ketika sudah mandi.
Pendapat kedua dari kalangan ulama Zhahiriyah, begitu juga pendapat Ibnul Mundzir, dan Imam Al-Muzani, mereka membolehkan wanita haidh dan orang junub masuk dan berdiam di masjid.
Pendapat ketiga dari pendapat Imam Ahmad dan dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah bahwa boleh berdiam di masjid untuk orang junub saja jika dalam keadaan memiliki wudhu karena yang dimaksud ayat di atas adalah dilarang mengerjakan shalat untuk orang junub.
Sebab perbedaan pendapat ini adalah karena:
- Tafsiran surah An-Nisaa’ ayat 43 apakah yang dilarang bagi orang junub adalah dilarang shalat ataukah dilarang berdiam di masjid.
- Perbedaan dalam pensahihan dan pendhaifan hadits.
Kesimpulan hukum wanita haidh dan orang junub masuk masjid
- Jumhur ulama berpendapat bahwa orang junub tidak boleh berdiam di masjid, hanya boleh melewati saja. Larangan ini berdasarkan surah An-Nisaa’ ayat 43. Yang dimaksud ayat, janganlah mendekati shalat adalah janganlah mendekati tempat shalat yaitu masjid.
- Tidaklah ada hadits yang melarang wanita haidh memasuki masjid kecuali hadits yang dikaji kali ini. Sedangkan pengqiyasan wanita haidh dengan orang junub tidaklah tepat karena orang junub masih bisa segera bersuci. Sehingga pendapat yang tepat, wanita haidh masih boleh berdiam di masjid, yang penting tidak mengotori masjid.
- Jika wanita haidh sekadar lewat saja atau mengambil sesuatu di masjid, hukumnya boleh.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda padanya,
نَاوِلِيْنِى الخُمْرَةَ مِنَ الْمَسْجِدِ. فَقُلْتُ: إِنِّيْ حَائِضٌ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: إِنَّ حَيْضَتَكِ لَيْسَتْ فِى يَدِكِ.
“Ambilkan untukku khumrah (sajadah kecil) dari masjid.” “Sesungguhnya aku sedang haid”, jawab ‘Aisyah. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Sesungguhnya haidhmu itu bukan atas kuasamu.” (HR. Muslim, no. 298).
HUKUM MANDI SUAMI ISTRI BERSAMA-SAMA DARI SATU WADAH
HADITS KE-123
وَعَنْهَا قَالَتْ: – كُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَرَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ, تَخْتَلِفُ أَيْدِينَا فِيهِ مِنَ اَلْجَنَابَةِ – مُتَّفَقٌ عَلَيْه ِ
زَادَ اِبْنُ حِبَّانَ: وَتَلْتَقِي
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Aku pernah mandi bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari satu wadah. Kami saling bergantian dalam menciduk air ketika mandi junub.” (Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari, no. 261 dan Muslim, no. 321, 45]
Ada tambahan dari Ibnu Hibban, “Tangan kami juga saling bertemu ketika mengambil dan menciduk dari wadah.” [HR. Ibnu Hibban, 3:395]
Faedah hadits
- Boleh seseorang mandi bersama istrinya dari satu wadah.
- Boleh saling melihat aurat pasangan saat mandi.
Dalil lainnya adalah firman Allah Ta’ala,
وَٱلَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَٰفِظُونَ إِلَّا عَلَىٰٓ أَزْوَٰجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَٰنُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ
“Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya. Kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.” (QS. Al-Ma’arij: 29-30)
- Orang junub masih boleh memasukkan tangannya dalam bejana dan hal itu tidak membuat air menjadi tidak suci. Tangan jika dalam keadaan bersih (tidak ada kotoran) boleh dimasukkan dalam wadah, karena anggota badan orang yang junub tidaklah najis. Keadaan seseorang yang junub tidak membuat tangannya jadi najis.
Dari ‘Amir Asy-Sya’bi, ia berkata, “Dahulu sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memasukkan tangan mereka dalam bejana padahal mereka dalam keadaan junub. Begitu pula seperti ini dilakukan oleh wanita yang sedang haidh. Sebelum tangan mereka dicuci, mereka memasukkan dalam wadah berisi air. Seperti itu tidaklah masalah.” (HR. Ibnu Abi Syaibah, 1:82 dan Bukhari secara mu’allaq yaitu tanpa sanad, lihat Fath Al-Bari, 1:372. Silakan lihat Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 2:65-66).
Baca Juga: Mandi Junub dengan Air Hangat
WAJIB MANDI KETIKA JUNUB
HADITS KE-124
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – – إِنَّ تَحْتَ كُلِّ شَعْرَةٍ جَنَابَةً, فَاغْسِلُوا اَلشَّعْرَ, وَأَنْقُوا اَلْبَشَرَ – رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ, وَاَلتِّرْمِذِيُّ وَضَعَّفَاه ُ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya di bawah setiap helai rambut ada janabat. Cucilah rambut dan bersihkanlah kulit.” (Diriwayatkan oleh Abu Daud dan Tirmidzi. Keduanya mendhaifkan hadits ini) [HR. Abu Daud, no. 248; Tirmidzi, no. 106; Ibnu Majah, no. 597. Hadits ini dhaif sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan dalam Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 2:67].
HADITS KE-125
وَلِأَحْمَدَ عَنْ عَائِشَةَ نَحْوُهُ, وَفِيهِ رَاوٍ مَجْهُول ٌ
Menurut riwayat Imam Ahmad dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha terdapat hadits yang serupa. Di dalamnya ada rawi yang majhul (tidak dikenal). [HR. Ahmad, 31:306. Hadits ini sanadnya dhaif sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan dalam Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 2:68].
Faedah hadits
- Hadits ini jadi dalil wajibnya mandi ketika junub. Mandi tersebut dilakukan dengan mengguyurkan air ke seluruh badan.
- Makna hadits ini sahih walaupun sanadnya dhaif.
Makna hadits ini terdapat dalam ayat,
وَإِن كُنتُمْ جُنُبًا فَٱطَّهَّرُوا۟
“Dan jika kamu junub, mandilah.” (QS. Al-Maidah: 6)
- Jika ada yang memiliki pembalut luka pada badan, cukup mencuci bagian luarnya apabila diizinkan untuk dicuci. Jika tidak memungkinkan, cukup diusap. Jika pembalut tersebut terkena air malah membahayakan, beralih pada tayamum.
- Kenapa ketika junub yang harus disiram adalah seluruh badan? Alasannya, karena yang merasakan nikmat adalah seluruh badan.
CATATAN DALAM MADZHAB SYAFII
Dalam madzhab Syafii, sebab mandi wajib:
- Jimak (hubungan intim)
- Keluar mani
- Kematian
- Haidh
- Nifas
- Melahirkan
Cara mandi wajib adalah dengan mengalirkan air ke badan dengan niatan yang khusus.
Sunnah-sunnah mandi dalam madzhab Syafii:
- Membaca bismillah.
- Berwudhu sebelumnya.
- Menggosok.
- Muwalah, berkesinambungan.
- Mendahulukan yang kanan dari yang kiri.
REFERENSI
- Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan keempat, Tahun 1433 H. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.
- Tahqiq Ar-Raghabaat bi At-Taqaasiim wa At-Tasyjiiraat li Thalabah Al-Fiqh Asy-Syafii. Dr. Labib Najib ‘Abdullah Ghalib.
Baca Juga:
—
Selesai disusun di Darush Sholihin, Selasa siang, 13 Muharram 1441 H (1 September 2020)
Oleh: Al-Faqir Ilallah, Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com
Silakan download PDF Bulughul Maram Thaharah, Tentang Mandi Junub: